Terbang tanpa karpet ajaib - Beyond the Scientific Way
Seribu tahun lebih awal sebelum Wright Bersaudara…
Seribu tahun lebih awal sebelum Wright Bersaudara…
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Sebutkan salah satu contoh teknologi tinggi! Kalau pertanyaan ini dilontarkan ke Prof. Dr.-Ing. BJ Habibie yang pernah memimpin PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), tentu jawabnya: aeronautik atau ilmu membuat pesawat terbang. Di bidang aeronautik berkumpul sejumlah teknologi canggih, yakni teknologi material, elektronika, komputer, mesin, kimia, navigasi dan sebagainya. Namun tentu semua sepakat, bahwa dasar dari aeronautika adalah ilmu bagaimana membuat sebuah benda yang lebih berat dari udara dapat terbang atau disebut dengan aviasi.
Dan apakah umat Islam punya kontribusi di bidang ini? Cukupkah dengan mengatakan bahwa Rasulullah pernah terbang dengan sesuatu yang lebih hebat dari pesawat terbang, yakni dengan kendaraan Buraq selama Isra’ Mi’raj, yang sekali langkahnya menempuh jarak sejauh mata memandang? Walaupun benar, jawaban ini tentu jauh dari memuaskan, karena Buraq hanyalah khusus untuk Nabi. Tidak ada manusia lain sesudahnya pernah melihatnya, apalagi menaikinya.
Bagaimana dengan naik karpet ajaib sebagaimana para sultan dalam kisah 1001 malam? Kisah 1001 malam memang dongeng yang sangat populer dari masa Khilafah Islam, sehingga bahkan ibu kota khilafah, yaitu Baghdad, digelari “Kota 1001 malam”. Kisah tentang Ratu Syeherazade yang mendongeng kisah-kisah fantastis (Aladdin, Ali Baba, Sinbad dsb) untuk melunakkan hati suaminya, Raja Syahriar ini sesungguhnya digali dan dimodifikasi dari khazanah sastra kuno masa pra-Islam. Semuanya tentu saja fiksi, baik yang berbau magis maupun bentuk awal dari science-fiction. Apapun juga, terbang dengan karpet-ajaib atau dengan naik jin, tetaplah khayalan belaka. Menyenangkan sebagai dongeng anak-anak menjelang tidur, namun tidak ada aplikasi praktisnya.
Alhamdulillah, ternyata ada orang Islam yang tidak puas dengan kisah Buraq maupun karpet ajaib. Dialah Abbas Ibnu Firnas (810-887) dari Andalusia (sekarang Spanyol) yang melakukan serangkaian percobaan ilmiah untuk dapat terbang, seribu tahun lebih awal sebelum Oliver & Wilbur Wright melakukan percobaan untuk membuat pesawat terbang.
Sebagaimana banyak ilmuwan muslim di zamannya, Ibnu Firnas adalah seorang polymath, yaitu menekuni berbagai ilmu sekaligus: kimia, fisika, kedokteran, astronomi, dan dia juga sastra. Dia menemukan berbagai teknologi seperti jam air (jam yang dikendalikan oleh aliran air yang stabil), gelas tak berwarna, lensa baca, alat pemotong batu kristal hingga peralatan simulasi cuaca yang konon juga mampu menghasilkan petir buatan, meski masih teka-teki bagaimana Ibnu Firnas menghasilkan listriknya. Namun di antara semua penemuannya, yang paling spektakuler dan dianggap salah satu tonggak sejarah adalah alat terbang buatannya.
Alat terbang Ibnu Firnas adalah sejenis ornithopter, yakni alat terbang yang menggunakan prinsip kepakan sayap seperti pada burung, kelelawar atau serangga. Dia mencoba alatnya ini dari pertama-tama dari sebuah menara masjid di Cordoba pada tahun 852. Dia terbang dengan dua sayap. Ibnu Firnas sempat terjatuh. Untung dia melengkapi diri dengan baju khusus yang dapat menahan laju jatuhnya. Baju khusus ini adalah cikal bakal parasut.
Tahun 875, pada usianya yang sudah 65 tahun dia melakukan percobaan terbangnya yang terakhir, menggunakan pesawat layang yang merupakan cikal bakal gantole. Percobaan kali itu dilakukan dari menara di gunung Jabal al-‘Arus dekat Cordoba dan disaksikan banyak orang yang antusias dengan percobaan-percobaan Ibnu Firnas selama itu, meski sebagian menyangka Ibnu Firnas gila dan mengkhawatirkan keselamatannya.
Saksi mata menyebutkan bahwa dia berhasil terbang, melakukan manuver, dan menempuh jarak terbang yang cukup signifikan. Namun sayang dia gagal mendarat ke tempatnya dengan mulus sehingga mengalami cedera parah di punggungnya. Ibnu Firnas meninggal 12 tahun kemudian yakni pada tahun 887.
Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Sebagai penghormatan pada Ibnu Firnas, sebuah lapangan terbang di Baghdad Utara dinamai Ibnu Firnas Airport. Spanyol memberi nama sebuah jembatan besar di Sevilla Abbas ibnu Firnas Bridge. Dan NASA menamai sebuah kawah di bulan dengan nama Ibnu Firnas Crater.
Namun usaha Ibnu Firnas bukanlah usaha ilmuwan muslim yang terakhir. Pada tahun 1630-1632, Hezarfen Ahmad Celebi di Turki berhasil menyeberangi selat Bosporus di Istanbul. Ahmad melompat dari menara Galata yang tingginya 55 meter dan berhasil terbang dengan pesawat layangnya sejauh kira-kira 3 kilometer serta mendarat dengan selamat.
Usaha meraih teknologi aeronautika ini sejalan dengan tantangan Allah di surat Ar-Rahman, “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (Qs. 55:33)
Dan surat al-Anfaal, ”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya”. (Qs. 8:60)
Teknologi penerbangan beserta seluruh turunannya seperti teknologi roket untuk membawa manusia hingga ke ruang angkasa wajib dikembangkan karena ini dapat merupakan faktor penentu dalam jihad fi sabilillah.
Dengan motivasi ideologis yang kuat, teknologi aeronautika pasti dapat dengan cepat dikuasai kembali oleh kaum muslimin. Motif ideologis harus menjadi motif utama, baru setelahnya motif ekonomis dan sains. Tanpa motif ideologis, teknologi bahkan industri pesawat terbang yang telah dimiliki dapat dengan mudah digadaikan atau dijual ke asing demi membayar Utang Luar Negeri yang tidak seberapa. Dan karena ketiadaan negara Islam yang ideologis, kini ribuan ahli-ahli aeronautika muslim terpaksa berkarier di negara-negara kafir penjajah, dan secara tak langsung ikut menciptakan mesin-mesin terbang yang membunuhi anak-anak kaum muslimin di Palestina, Iraq atau Afghanistan