Sahabat KU rahimakumullah,
Marilah kita terus meningkatkan takwa kita
kepada Allah, dengan taat dan patuh kepada syariah Allah, itulah syariah Islam.
Sungguh di akhir zaman ini, godaan ketakwaan terus bermunculan. Tipu daya
merajalela, dan kemaksiatan seperti dipelihara.
Sementara mereka yang menyuarakan kebenaran dihinakan dan ditutup mulutnya. Rasulullah SAW menggambarkan:
“Akan
datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya
seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi)
Sahabat KU rahimakumullah,
Setiap akhir tahun, biasanya kita selalu dihadapkan pada persoalan toleransi. Haruskah kita mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru kepada orang-orang Nasrani, sebagai bukti toleransi kita kepada mereka?
Sebagian umat Islam ini bimbang. Bahkan
ada yang menganggapnya remeh. Cuma ucapan saja. Tak ada kaitan dengan keimanan
kita. Maka, penting bagi kita untuk mendudukkannya.
Islam memang mengajarkan sikap
toleransi. Tapi bukan toleransi ala
Barat, ala liberal. Dalam Islam,
toleransi bermakna membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk
perayaan agamanya. Toleransi juga bermakna tidak memaksa umat lain untuk
memeluk Islam.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa orang
Quraisy pernah berkata kepada Rasul SAW, “Andai engkau menerima tuhan-tuhan
kami, niscaya kami menyembah tuhanmu.” Menjawab itu, Allah SWT menurunkan
firman-Nya dalam Surat al-Kafirun, hingga ayat terakhir:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untuk kalian
agama kalian dan untukku agamaku” (TQS al-Kafirun [109]: 6)
Sahabat KU rahimakumullah,
Boleh umat Islam bekerja sama dengan agama lain, dalam hal jual beli, muamalah, atau lainnya dengan orang-orang non-Muslim. Bahkan, Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik dan berlaku adil dan fair terhadap mereka (lihat QS al-Mumtahanah [60]: 8). Dilarang kita berlaku zalim, aniaya dan merampas hak-hak non Muslim. Tindakan Rasul SAW atas mereka bisa menjadi teladan kita.
Namun, toleransi bukan lantas memberikan
ucapan selamat atas hari raya dan perayaan keagamaan agama lain. Ingatlah, ucapan selamat itu mengandung doa
dan harapan kebaikan untuk orang yang diberi selamat. Juga menjadi ungkapan
kegembiraan dan kesenangan bahkan penghargaan atas apa yang dilakukan atau
dicapai oleh orang yang diberi selamat.
Padahal Perayaan Natal adalah peringatan
kelahiran anak Tuhan dan Tuhan anak. Dengan kata lain itu adalah perayaan atas
kesyirikan (menyekutukan Allah SWT).
Lalu bagaimana mungkin umat Islam mengucapkan selamat dengan semua
kandungan maknanya itu kepada orang yang menyekutukan Allah SWT?
Padahal jelas Allah SWT telah menyatakan
mereka adalah orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72-75). Di akhirat kelak mereka
akan dijatuhi siksaan yang amat pedih. Keyakinan Trinitas itu di sisi Allah SWT
adalah dosa dan kejahatan yang sangat besar. Kejahatan ini nyaris membuat
langit pecah, bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh (lihat QS
Maryam [19]: 90-92).
Jadi bagaimana mungkin mengucapkan selamat
kepada orang yang melakukan dan merayakan dosa yang sangat besar di sisi Allah
SWT itu?
Maka jelas, mengucapkan Selamat Natal dan
selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru ikut serta merayakannya.
Tentu lebih besar lagi keharaman dan dosanya.
Sahabat KU rahimakumullah,
MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk menghadiri perayaan Natal Bersama. Dalam fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, MUI di antaranya menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram; (2) Agar umat Islam tidak terjerumus pada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Termasuk di dalamnya adalah menggunakan atribut
agama lain. Tidak boleh. Sebab, itu menyerupai mereka. Kata Nabi SAW:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ»
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Al-Qur’an secara jelas melarang kita ikut
serta merayakan hari raya orang kafir.
Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan jika mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lewat (begitu saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka (TQS al-Furqan [25]: 72).
Az-Zûr itu meliputi semua bentuk
kebatilan. Yang terbesar adalah syirik dan mengagungkan sekutu Allah SWT.
Oleh karena itu,
kaum Muslim juga dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu
mempublikasikan hari raya agama lain.
Sahabat KU rahimakumullah,
Saudaraku kaum Mukmin, yang harus kita lakukan adalah memegang teguh Islam dan syariahnya. Jangan sampai terpengaruh dengan propaganda, seruan bahkan tipudaya dari pihak manapun yang sekilas terkesan baik, namun sejatinya menggiring kaum Muslim untuk menjauhi dan menanggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit.
Ingatlah, kita mesti makin mengentalkan
keislaman kita, makin kaffah menjalankan syariah dan makin bersungguh-sungguh
memperjuangkan penerapan syariah secara kaffah di tengah kehidupan. Itulah yang
akan memberikan kebaikan, keadilan, toleransi, ketentraman dan kehidupan yang
baik bagi semua manusia, Muslim dan non Muslim. []